Berikut gambar yang menunjukan rata-rata presipitasi selama tiga bulan di tahun 2006. Bulan-bulan tersebut adalah:
1.djf : desember, januari,februari
2.mam: maret,april,mei
3.jja: juni,juli,agustus
4.son:september,oktober dan november.
Posted by kadarsah pada Juli 29, 2007
Berikut gambar yang menunjukan rata-rata presipitasi selama tiga bulan di tahun 2006. Bulan-bulan tersebut adalah:
1.djf : desember, januari,februari
2.mam: maret,april,mei
3.jja: juni,juli,agustus
4.son:september,oktober dan november.
Posted in Tidak Dikategorikan | 4 Comments »
Posted by kadarsah pada Juli 29, 2007
Gambar di sebelah kiri merupakan rata-rata presipitasi selama tahun 1979-2006 sedang gambar sebelah kanan hanya tahun 2006.
Tidak terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Posted in Klimatologi, Meteorologi, Model Meteorologi | 6 Comments »
Posted by kadarsah pada Juli 29, 2007
Gambar dibawah merupakan rata-rata bulanan presipitasi 2006 yang meliputi Jawa dan sekitarnya. Region I ini memiliki pola tipe curah hujan Monsoon Australia, dan jika di grafikan membentuk huruf U.
Posted in Meteorologi | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 29, 2007
Gambar dibawah merupakan hasil plot data curah hujan dari GPCP untuk daerah yang dipengaruhi angin monsoon Asia. Dari gambar tersebut terlihat pengaruh monsoon Asia pada bulan-bulan tertentu.
Posted in Meteorologi | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 27, 2007
Meniup Suhu Bumi
Mengajak negara-negara berseteru duduk bersama seperti merukunkan macan dan gajah. Tapi itu bukan hal mustahil bagi Adiyatwidi Adiwoso A. Kuasa usaha sementara Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB ini berhasil mengajak duduk bersama para wakil dari Amerika Serikat, Cina, dan India guna membahas soal lingkungan.
Bersama 50-an wakil negara dan organisasi dunia, ketiga negara yang saling ngotot soal panas bumi itu bersedia hadir untuk urun rembuk dalam seminar sehari di Doral Arrowwood Resort, New York, akhir bulan lalu. Selama hampir 10 jam mereka bersedia duduk membahas sejumlah masalah menyongsong konferensi PBB soal perubahan iklim dunia yang bakal digelar di Bali, Desember nanti.
Dari judulnya, “The Role of the United Nations in Climate Change: Exploring the Way Forward from Now to Bali and Beyond”, seminar di kawasan resor New York itu digelar untuk menyatukan visi ke-50 negara lewat pertemuan informal ini. “Brainstorming ini mengajak delegasi agar bicara secara lebih terbuka mengeluarkan unek-uneknya,” tutur Adiyatwidi di sela-sela seminar.
Sikap terbuka itulah yang tercermin dari para delegasi, walau dengan gaya diplomasi. Bukan lewat adu jotos atau menggebrak meja. Seperti diutarakan Kevin M. Conrad, Direktur Coalition for Rainforest Nations, “Negara-negara industri selalu menuntut negara-negara berkembang menghentikan penebangan pohon dan penggundulan hutan.” Namun, katanya, mereka tidak memberikan alternatif.
Bank Dunia, UNDP (Program Pembangunan PBB), lanjutnya, tidak memberi jalan keluar bagi negara berkembang untuk membayar utang mereka bila penebangan pohon –penghasil utama devisa– dihentikan. “IMF hanya bisa menaikkan suku bunga pinjamannya,” kata Conrad yang asal Selandia Baru. Sejumlah wakil organisasi keuangan dunia yang duduk di lapis belakang merah wajahnya.
Suara senada diutarakan Ajai Malhotra, Duta Besar India untuk PBB. “Bagaimana caranya mengubah tradisi rakyat jelata yang menggunakan kayu atau batu bara untuk bahan bakar di dapur,” ujarnya. Seperti diketahui, India merupakan salah satu negara yang banyak menyumbang gas buang terbesar di dunia. Selama 1990 hingga 2004, konsumsi energi India meningkat 37% dan emisi gas buangnya mencapai 1,12 ton per tahun per kapita.
Sementara itu, Cina yang berpenduduk 1,3 milyar jiwa menyumbang gas buang sebanyak 4,03 ton. Negara komunis yang kini menggeliat dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 10% setiap tahun itu diramalkan akan menyaingi Amerika Serikat sebelum tahun 2010 dengan total gas buang sebanyak 21,75 ton. Karena itulah, Cina berupaya menurunkannya lewat pengolahan teknologi energi batu bara agar lebih akrab lingkungan. “Bagaimana caranya? Beri kami bantuan teknis untuk mengatasi hal itu,” kata Bai Yongjie, konsul RRC di PBB.
Yang tak luput dari kritik adalah Amerika Serikat, yang diwakili Michael G. Snowden, salah satu staf dan penasihat perwakilan Amerika di PBB. Dan yang melontarkannya tak lain Dr. Alan Robock, profesor dari Universitas Rutger. “Saya sebagai warga Amerika sungguh malu melihat negara kami, yang punya dana, kecanggihan teknologi tinggi, dan sumber daya manusia yang cukup cerdas dan banyak, ternyata tak mampu mengurangi sumbangan gas buang dunia sebesar 21,75 ton,” ujar Robock, Kepala Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Rutger, New Brunswick, New Jersey, Amerika Serikat.
Gara-gara ketiga negara besar –Amerika, India dan Cina– itulah suhu bumi meningkat. Tahun 2005 merupakan tahun paling panas selama 125 tahun. Suhu terpanas tercatat setinggi 58 derajat celcsus di Al-Asisiyah, Libya. Menurut prediksi para ilmuwan, suhu tersebut akan meningkat 0,2 derajat setiap dekade dalam jangka waktu 20 tahun mendatang. Seandainya jumlah gas buang diupayakan konstan pada tahun 2000, pemanasan bisa dipastikan masih meningkat 0,1 derajat setiap dekade.
Jangan heran bila gunung-gunung es di kedua kutub dunia meleleh. Stasiun televisi ABC, Kamis pekan lalu, melaporkan bahwa burung penguin banyak yang mati akibat kelaparan karena krisis bahan makanan, seperti ikan dan plankton. Cairan es pun menyebabkan permukaan air laut meningkat dan mengikis pantai-pantai sejumlah negara, seperti Bangladesh, Maldives, Barbados, atau Indonesia. Bahkan banyak pulau yang hilang tertelan air laut. Indonesia, misalnya, kehilangan 2.000 pulau dari total pulau yang jumlahnya sekitar 17.000.
Demikian juga Bangladesh. Sebagai negara yang tergolong “rendah” dan paling rentan akibat pemanasan dunia, air laut telah merambah Pantai Bengal dan mendorong air asin itu semakin menjorok ke daratan. Akibatnya, banyak petani yang mengubah lahan pertaniannya menjadi tambak udang atau ikan laut. “Dulu kami kebanjiran 20 tahun sekali, tapi kini sudah empati kali mengalami banjir bandang dalam 20 tahun,” tutur Salimul Huq, Direktur Program Perubahan Iklim Institut International untuk Lingkungan Bangladesh, kepada majalah Time.
Kekhawatiran semakin besar setelah menyadari bahwa dana yang disalurkan organisasi keuangan dunia untuk menekan panas bumi tak seimbang. Kebutuhan pembangunan pembangkit listrik atau fasilitas umum lainnya yang akrab lingkungan baru terpenuhi separuhnya. Pembangunan pembangkit listrik di negara-negara berkembang, yang setahun membutuhkan dana US$ 165 milyar, baru mendapatkan dana US$ 80 milyar. Para pemodal besar baru menanamkan investasinya ke industri akrab lingkungan belakangan ini. Demikian juga kewajiban penggantian perubahan iklim bagi negara-negara industri.
Kecemasan itulah yang mendorong negara-negara Uni Eropa dan Asia untuk mendesak PBB agar memasukkannya sebagai agenda politik dunia. Proses pun bergulir lewat lobi makan siang, Mei lalu, dimotori oleh Indonesia dan Inggris. Forum ini berkembang dengan melibatkan Singapura, Indonesia, dan negara-negara kepulauan lainnya. “Indonesia dipilih sebagai ketua karena posisinya yang cukup netral. Sebagai anggota OPEC, punya hutan luas, negara kepulauan, dan anggota G-77,” kata Adiyatwidi Adiwoso, yang akrab dipanggil Wike.
Sejumlah forum bergulir. Selain forum informal di New York, sebelumnya ada forum G-8 di Heiligendam, Jerman, dan forum lainnya, yang kelak bakal dimatangkan dalam Conference of Parties of the United Nations Framework on Climate Change and the 3rd Meeting of Parties of Kyoto Protocol di Bali, 3-14 Desember 2007. Intinya, menyusun langkah strategis masalah lingkungan pasca-Protokol Kyoto yang berakhir pada 2012. Harapannya, antara lain, Amerika Serikat dan negara berkembang yang belum bersedia meratifikasi Protokol Kyoto mau terlibat di masa mendatang.
Meski masih jauh, indikasi ke arah itu mulai tampak di New York, akhir Juni lalu. Buktinya, hampir seluruh delegasi bersedia menghadiri urun rembuk informal yang diselenggarakan di kawasan wisata Doral Arrowwood, Rye Brook, yang nyaman dan apik. Kamarnya luas, keluarga mereka bisa berenang, sementara delegasi mengerutkan dahi di ruang rapat. Malamnya, mereka menikmati makan malam lobster yang lezat dan minuman anggur, sambil menyaksikan tarian tango suguhan sebuah akademi tari New York. “Mereka terus mendukung agar Indonesia tetap menjadi pemimpin,” ujar Wike.
Didi Prambadi (New York)
[Lingkungan, Gatra Nomor 36 Beredar Kamis, 19 Juli 2007]
Posted in Global Climate Change | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 19, 2007
From Wikipedia, the free encyclopedia
Clouds (from above)
Simply put, clouds form when the dewpoint of water is reached in the presence of condensation nuclei in the troposphere. Atmosphere is a dynamic system, and the local conditions of turbulence, uplift and other parameters give rise to many types of clouds. Various types of clouds occur frequently enough to have acquired a name of their own, often these are further specified with additional descriptive name. Furthermore, some atmospheric processes can make the clouds organize in distinct patterns such as ‘wave cloud‘ or ‘actinoform cloud‘, these are large scale structures and not always readily identifiable from single point of view.
Cont |
Cirrus fibratus
Cirrus uncinus or Cirrus floccus
Cirrus vertebratus
Cirrus clouds form above 23,000 feet (about 6,000 m), in the cold region of the troposphere. They are denoted by the prefix cirro- or cirrus. At this altitude water almost always freezes so clouds are composed of ice crystals. The clouds tend to be wispy, and are often transparent. Isolated cirrus clouds often indicate a stable situation and do not bring precipitation, however, large amounts of cirrus clouds can indicate an approaching storm system.
There are several variations of cirrus cloud:
A clump of cirrocumulus clouds.
Abbreviation: Cc
Cirrocumulus clouds occur at 23,000-40,000 feet (about 6,000-12,000 m) above the earth’s surface. They form from cirrus or cirrostratus clouds which are warmed gently from below. The heating process creates convective currents, or pockets of air which rise and sink inside the cloud. If there is no sign of cirrus or cirrostratus clouds nearby, then the cloud is most likely an altocumulus.
Abbreviation: Cs
Cirrostratus clouds are often translucent and do not bring precipitation.
Aircraft engines emit water vapour into the atmosphere, and this vapour is then frozen into ice crystals. These are known as condensation trails (contrails).
Abbreviation: As
Altostratus clouds form when a large lifted air mass is condensed, usually from a frontal system, and can bring rain or snow.
Altocumulus mackerel sky
Abbreviation: Ac
Altocumulus clouds are not usually associated with a front but can still bring rain or snow.
Nimbostratus clouds
Abbreviation: Ns
Nimbostratus clouds tend to bring constant precipitation and low visibility.
Abbreviation: Sc
Stratocumulus clouds are lumpy, layered clouds often following a cold front, and they can produce rain or drizzle.
Abbreviation: St
Stratus clouds are layerlike clouds associated with widespread precipitation or ocean air, and often produce drizzle.
Abbreviation: Cu
Cumulus clouds are sometimes called fair weather clouds but can develop into more storm-condition clouds (cumulonimbus, for example), and continued upward growth suggests showers later in the day.
Cumulonimbus with NOAA research vessel in foreground
Abbreviation: Cb
Cumulonimbus is the cloud of storms and rain or showers.
A thin cloud seen most often between sunset and sunrise and is between 12 to 18 miles (19 to 29 km) high
A thin cloud seen most often between sunset and sunrise and is 32 to 35 miles (51 to 56 km) high
A translucent wave cloud
Clouds associated with the development and duration of storms:
Weather Portal |
Posted in Awan | 10 Comments »
Posted by kadarsah pada Juli 16, 2007
2007-07-16 22:25:00
Arfi Bambani Amri – detikcom
Tokyo – Jepang kembali diguncang gempa kuat untuk kedua kalinya. Pada pukul 23.11 waktu setempat atau 21.13 WIB, Senin (16/7/2007), gempa 6,6 Skala Richter mengguncang negeri Matahari Terbit itu.
Seperti dilaporkan kantor berita AFP, Senin (16/7/2007), gempa ini berpusat di Laut Jepang yang berbatasan dengan Cina, dekat kota Kyoto, sebelah barat Jepang.
Gempa berpusat 370 km di bawah permukaan laut. Namun tak ada tsunami yang ditimbulkan gempa ini.
Belum ada laporan korban atau kerusakan yang diakibatkan gempa ini.
Sebelumnya, gempa berskala 6,8 mengguncang Jepang. 7 Orang meninggal, 750 orang lebih luka-luka, ratusan bangunan rusak dan sebuah reaktor nuklir bocor. (aba/aba)(news from cache) – Reload from Original
span.jajahWraper { font-size:1em; color:#B11196; text-decoration:underline; } a.jajahLink { color:#000000; text-decoration:none; } span.jajahInLink:hover { background-color:#B11196; }
Posted in Natural Hazard | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 16, 2007
2007-07-17 05:26:00
Arfi Bambani Amri – detikcom
Kashiwazaki – Delapan orang tewas dan 875 orang terluka akibat gempa 6,8 Skala Richter yang mengguncang Jepang Senin 16 Juli 2007 pagi. Gempa juga mengakibatkan air mengandung radioaktif mengalir keluar dari sebuah PLTN.
Gempa kuat yang mengguncang 200 km di utara Tokyo ini juga merusak ratusan rumah. Kerusakan paling parah terutama melanda kota Kashiwazaki, Jepang.
“Namun saya merasa setidaknya lega karena keluarga saya selamat,” kata seorang warga yang rumahnya rusak parah, Satoshi Hirokawan (51), seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (17/7/2007).
Menurut Kepolisian Jepang, semua korban meninggal adalah mereka yang berusia di atas 70 tahun. Rata-rata tewas karena telat menyelamatkan diri dari bangunan yang rubuh di Prefektur Niigata dan Nagano.
Petugas penyelamat masih berjuang untuk mencari korban-korban lain yang kemungkinan tertimbun bangunan runtuh. Tak kurang dari 800 bangunan dirusak oleh gempa yang sempat menimbulkan tsunami setinggi setengah meter itu.
Korban minimal karena pada hari gempa terjadi, merupakan hari libur bagi bank-bank di Jepang. Sehingga, pasar keuangan dan banyak kantor tutup pada hari itu.
Jepang merasakan 20 persen dari gempa terkuat di dunia. Posisinya berada di lempeng tektonik antar benua, sehingga membuatnya rentan dari gempa dan tsunami. Pada Januari 1995, gempa berskala 7,3 merusak Kobe, menewaskan 6.400 orang. (aba/aba)(news from cache) – Reload from Original
Posted in Natural Hazard | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 14, 2007
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Protokol Montreal (lengkapnya: Protokol Montreal atas Zat-Zat yang mengurangi Lapisan Ozon) adalah sebuah traktat internasional yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang diyakini bertanggung jawab atas berkurangnya lapisan ozon. Traktat ini terbuka untuk ditandatangani pada 16 September 1987 dan berlaku sejak 1 Januari 1989. Sejak itu, traktat ini telah mengalami lima kali revisi yaitu pada 1990 di London, 1992 di Kopenhagen, 1995 di Vienna, 1997 di Montreal dan 1999 di Beijing. Dikarenakan tingkat penerapan dan implementasinya yang luas, traktat ini dianggap sebagai contoh kesuksesan kerjasama internasional. Kofi Annan pernah menyebutnya sebagai “Kemungkinan merupakan persetujuan internasional tersukses sampai hari ini..”.
Traktat ini difokuskan pada beberapa kelompok senyawa hidrokarbon halogen yang diyakini memainkan peranan penting dalam pengikisan lapisan ozon. Semua zat tersebut memiliki klorin atau bromin (zat yang hanya memiliki fluorin saja tidak berbahaya bagi lapisan ozon).
Posted in Global Climate Change | Leave a Comment »
Posted by kadarsah pada Juli 14, 2007
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)
Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). [1] Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Gambar diatas menunjukan grafik emisi karbon yang dihasilkan oleh beberapa region, tampak dalam grafik tersebut USA dan Kanada menempati urutan pertama penyumpang emisi karbon.
Gambar diatas menunjukan 5 macam gas rumah kaca serta kenaikannya sampai tahun 2003.
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi [3]. Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini [4].
Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku “pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan.” Dari kedua syarat tersebut, bagian “55 pihak” dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat “55 persen” dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.
Lihat pula: Daftar penanda tangan Protokol Kyoto
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.
Ada enam negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex I:
Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia.
AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. [5]
Posted in Global Climate Change | 1 Comment »